Masalah yang muncul dari ketidaklengkapan data adalah terbukanya ruang untuk interpretasi. Dan interpretasi akan memiliki beragam bentuk sesuai dengan sudut pandang si pemberi penafsiran. Inilah sebabnya mengapa dalam banyak kasus UFO sighting, kesimpulan antara para believers dan debunkers akan suatu event sighting bisa berbeda 180 derajat, tergantung interpretasi masing-masing pihak.
Kedua sisi tentunya mengutamakan pengetahuan dan familiarity-nya atas kejadian tersebut, mana yang dirasa lebih familiar dan bisa diterima oleh disiplin pemikirannya, maka itulah yang diterima. Bagi mereka yang skeptics, atau malah mendedikasikan diri untuk menjadi UFO debunkers, maka ketika data terkumpul masih bisa dikaitkan dengan kejadian-kejadian alami / buatan manusia / kesalahan identifikasi / hoax, tanpa perlu pikir panjang label kesalahan identifikasi pun disematkan, dan misi “menguak kebenaran” pun dianggap tercapai, terpuaskan. Masalahnya, pengambilan kesimpulan melalui cara seperti ini biasanya selalu berhasil menemukan kaitan rasional dan konvensional terhadap kejadian se-luar biasa apapun.
Misalnya mengenai Rods, kala rekaman foto memperlihatkan adanya benda terbang mirip silinder yang terlihat kabur (standar penampakan Rods), maka para debunker bisa dengan mudah menganggap foto tersebut sebagai rekaman gambar serangga biasa yang terbang cepat, dimana distorsi cahaya dan lensa telah membuatnya terlihat seperti mahluk lain yang tidak dikenal. Padahal iapun hanya menelaah dan berinterpretasi terhadap data yang ada, bukan karena ia melihat sendiri serangganya.
Atau dengan mengatakan bahwa saksi mata sighting sedang mengalami halusinasi ketika melihat piring terbang di angkasa. Atau menyatakan bahwa suatu video rekaman sighting adalah hasil rekayasa komputer. Pengerucutan kesimpulannya mungkin sudah melalui prosedur yang benar, namun dengan persepsi yang condong kearah neutralizing atau negatifism, maka ketika tiba waktunya untuk menginterpretasikan data yang ada, yang akhirnya terjadi adalah hilangnya data berharga karena pelabelan yang tidak tepat.
Di sisi lain, dengan beragamnya referensi soal UFO yang diketahui, baik yang bersifat fakta, legenda, maupun dongeng, maka seorang Ufolog bisa juga terlalu cepat melompat kepada kesimpulan prematur. Dan bagi seorang UFO fanatics, malah tak jarang informasi yang masuk kemudian diolah seadanya, kemudian jika terlihat ada kaitannya dengan karakteristik UFO, walaupun hanya sedikit, maka kesimpulan akhirnyapun adalah justifikasi mengenai keberadaan UFO.
Jadi jika skeptics / debunkers cenderung mengabaikan kesimpulan kearah kejadian luar biasa, jika data yang dikumpulkan masih bisa dikaitkan dengan kejadian kejadian biasa, maka UFO fanatics kebalikannya; cenderung mengabaikan kesimpulan kearah kejadian biasa, jika masih bisa dikaitkan dengan kejadian luar biasa. Dua-duanya berada di sisi yang ekstrim.
Siapa yang benar? Tidak bisa dipukul rata, tapi yang pasti extrimisme cenderung membutakan, baik yang pro maupun kontra.
Sayangnya, masalah utama dalam banyak kasus UFO sighting adalah sangat sedikitnya data ilmiah yang bisa dikumpulkan, sehingga baik pihak pro maupun kontra sama-sama menitikberatkan pendapatnya pada interpretasi.
———
Sampai saat ini, posisi mereka yang mengaitkan diri dengan status “ilmiah”, sebagian besar masih berada di sisi berseberangan dengan para Ufolog. Ufologi masih dianggap masuk kepada ranah “pseudo-science” karena banyaknya data-data yang didapatkan tidak bersifat solid, dan metode penelitiannya tidak bisa mengikuti metode baku dunia ilmu pengetahuan. Maka dari itu pula, banyak sajian informasi terkait UFO yang dibuat oleh produser-produser yang merasa dirinya scientifically intellect, rata-rata hanya berusaha meyakinkan para pemirsanya bahwa tidak ada apapun diluar sana, selain dari yang sudah pernah dipetakan dan dokumentasikan para kolega peneliti dan ilmuwan, kedalam suatu sistim pengetahuan yang sudah baku. Diluar itu semua, kalau tidak bisa dibakukan dalam suatu tatanan keilmuan standar, maka dianggap tidak ada.
Namun ini mirip seperti kasus dulu ketika kaum agamis menghakimi Nicolaus Copernicus sebagai sesat, karena berani menentang doktrin mengenai kemuliaan planet Bumi, dengan mengatakan bahwa Matahari adalah pusat Tata Surya, dan planet Bumi bukanlah pusat alam semesta.
Sialnya, jika alam semesta itu ramah dan tidak pelit berbagi informasi (dan penciptanya memang bermaksud untuk menjadikannya sebagai monumen kebesaran-Nya yang bisa dipelajari), sehingga klaim Copernicus lambat laun bisa dibuktikan bersama-sama, maka dalam dunia Ufologi kita berhadapan dengan obyek penelitian yang:
- Mode operasi standarnya adalah menghindari liputan manusia
- Sulit dicari sample nya, ataupun direkam outputnya untuk dipelajari
- Tingkat teknologinya relatif lebih tinggi daripada si pengamat, sehingga terdapat jenjang perbedaan kemampuan penginderaaan yang cukup besar
- Para penciptanya juga diduga memiliki tingkat intelegensi yang juga lebih tinggi daripada si pengamat sehingga juga terdapat jenjang perbedaan pola pikir yang cukup besar
- Banyak unsur militer di berbagai negara menganggap topik ini sebagai Above Top Secret terkait keamanan negara sehingga keberadaannya cenderung ditutup-tutupi
- Banyak pihak yang dianggap memiliki kemampuan untuk mendapatkan data lebih akurat dan melakukan penelitian lebih serius, tidak mau membagi hasil temuannya kepada masyarakat
- Adanya usaha aktif dari kalangan oposisi, untuk melakukan netralisasi dan negatifisme terhadap keberadaan obyek tersebut, sehingga menambah keengganan para saksi untuk muncul dan mengungkapkan kesaksiannya
Hal-hal tersebut secara langsung dan tidak langsung, telah membuat puluhan tahun penelitian terhadap topik UFO tidak berhasil membuahkan satu gebrakan pun yang dianggap berarti, jika dipandang dari sudut pandang ilmiah. Alasan yang sama dipakai pemerintah AS ketika akhirnya menutup Project Blue Book.
Tapi mengutip ucapan Sir Martin Rees, astronomer kenamaan berkebangsaan Inggris, “absence of evidence is not evidence of absence” (ketiadaan bukti tidak berarti bukti ketiadaan), maka justru yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi topik Ufologi adalah, suatu penerimaan bahwa topik ini tidak bisa diteliti hanya dengan prosedur baku penelitian ilmiah yang sudah ada, yang sudah dianggap standar.
Yang kita perlukan justru bukan memaksa supaya gambar cocok dengan bingkai, alias pemaksaan penggunaan metode standar dan baku penelitian ilmiah karena cuma itu tools penelitian yang ada, tapi pencarian metode penelitian alternatif yang mampu menelaah dengan baik topik ini.
Karena keberadaan UFO sebenarnya bisa dideteksi dan diukur, hanya saja kitanya yang belum menemukan alat ukur yang tepat. (bay)
sumber: Artikel ini merupakan re-post dengan minor update dari artikel sama yang termuat di Ufosiana disini.
0 komentar:
Posting Komentar